KEBUDAYAAN NUSA TENGGARA TIMUR
Nama flores itu sendiri berasal dari bahasa portugis yaitu
“cabo de flores “ yang berarti “tanjung bunga”. Nama itu semula di berikan oleh
S.M. Cabot untuk menyambut wilayah timur dari pulau flores. Namun pada akhirnya
di pakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh gubernur jenderal hindia belanda
Hendrik Braouwer. Sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli sebenarnya pulau flores adalah nusa nipa (pulau
ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena
mengandung berbagai makna filosofis, cultural, dan ritual masyarakat flores.
Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan
sub-suku-bangsa yang memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda.
Delapan
suku yang terdapat di Pulau Flores antara lain :
1. Orang Manggarai
2. Orang Riung
3. Orang Ngada
4. Orang Nage-Keo
5. Orang Ende
6. Orang Lio
7. Orang Sikka
8. Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada,
Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara
kelompok sub-suku-bangsa tersebut dengan orang Manggarai termasuk besar.
Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang mencolok.
Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke Timur menunjukkan lebih
banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan orang Manggarai
lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun sub-suku-bangsa
Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur
dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa
Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Sistem Kepercayaan
Masyrakat Flores sudah menganut beberapa ajaran agama
modern, seperti Islam, Kristen dan lain sebagainya. Namun masih terdapat
tradisi unsur pemujaan terhadap leluhur. Salah satunya adalah tradisi megalitik
di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara
bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur sebagai wujud penghormatan
(kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 – 3000
tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu
begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya),
asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra,
serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam
kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal
pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan
monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk
prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta
perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik
pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi sertastruktur bangunan. Tak
ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan
dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan.
Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti
pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahanlogam dan
sebagainya, serta pembuatan benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
Kesenian
Tari yang berasal dari Flores salah satunya adalah tari Caci
adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki
yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae Manggarai. Hampir
semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat
Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci
berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci
bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan
merupakan ritual Penti Manggarai.
Mata Pencaharian
Salah satu mata pencaharian suku Flores adalah berladang.
Mereka menggunakan sistem gotong royong dalam hal membuka ladang di dalam
hutan. Aktivitas itu sendiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah, menebang
pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang-cabang yang
telah di potong dan di tebang. Kemudian bagian hutan yang di buka dengan cara
tersebut dibagi antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka
hutan tadi. Dari atas sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak seperti
suatu jaringan sarang laba-laba. Tanaman pokok yang di tanam di ladang-ladang
adalah jagung dan padi.
Beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian suku
Flores. Hewan piaraan yang terpenting adalah kerbau. Binatang ini tidak dipiara
untuk tujuan-tujuan ekonomis tetapi untuk membayar mas kawin, untuk
upacara-upacara adat, dan untuk menjadi lambang kekayaan serta gengsi. Selain
itu kuda juga merupakan hewan piaraan yang penting, yang dipakai sebagai
binatang tenaga memuat barang atau menghela. Di samping itu kuda juga sering
dipakai sebagai harta mas kawin. Kerbau dan juga sapi dimasukkan ke dalam
kandang umum dari desa dan digembala di padang-padang rumput yang juga
merupakan milik umum dari desa. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam
dilakukan di pekarangan rumah atau dikolong rumah seperti halnya di daerah
Manggarai.
Sistem Masyrakat
Di dalam masyarakat flores kuno ada suatu sistem
statifikasi, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar pelapisan itu adalah
klan-klan yang dianggap mempunyai sifat keaslian satau bersifat senioritet.
Yaitu diantaranya :
1.Lapisan orang kraeng
2.Lapisan orang ata lehe
3.Lapisan orang budak
Pada orang Ngada misalnya terdapat tiga lapisan juga seperti
:
1.Lapisan orang gae meze
2.Lapisan orang gae kiss
3.Lapisan orang azi ana
Bahasa
Diperkirakan terdapat tujuh kelompok bahasa, yaitu kelompok
bahasa-bahasa Flores Barat, Flores Timur, Sumba, Timor Barat, Timor Timur,
Pantara, dan Alor. Dalam pada itu, berdasarkan hasil penghimpunan berkas
isoglos dan perhitungan dialektometri di NTT, diperkirakan terdapat lima
kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores-Sumba, Timor Barat, Timor
timur, Pantar, dan Alor. Interpretasi yang dapat ditarik dari perbedaan hasil
pengelompokan bahasa antara historis komparatif dan dialektologi kemungkinan
besar karena sifat dasar dari pendekatannya. Linguistik historis komparatif
cenderung mengarah pada diakronis, sedangkan dialektologi cenderung mengarah
pada kondisi bahasa secara sinkronis.
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita
dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada
perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai macam bahasa
dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa
Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh
suku-suku tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar