KEBUDAYAAN ACEH
BAHASA ACEH
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD,
bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya,
yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh
tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa
Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh,
kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh
Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat
di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala
Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan
Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita
dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di
luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga
kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai
bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di
Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
• Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya
dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang
telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi
masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah
Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang
di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan
merdu dari syair-syair kesenian didong.
• Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang
mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan
penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan
masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang
menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu
kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
• Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng)
merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat
kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di
kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala
Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan
bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam
bahasa Tamiang.
• Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa
Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh
Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami
wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa
ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten
Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua
franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di
luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh
kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat,
khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo,
Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di
desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari
asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai
barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh.
Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa
pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap
keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini
dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
• Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang
mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh
Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat
akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali
penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk
bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat
dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet,
sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku
dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita
pendek, dan bahkan puisi.
• Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa
Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa
ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil.
Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di
kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang
menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau
disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di
wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan
Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam
bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara
sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang
ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di
provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
• Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban
adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di
kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama
sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa
Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa
Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta
pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini
hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
• Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya
sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue,
menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah
pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka
menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni
bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah,
yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan
bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang
jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue
hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki
dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue
Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai
yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan
kecamatan Salang.
KARYA / SENI
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat
Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini
adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil
karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang
yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi
perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh
diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola
(mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang
dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal
ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam
perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai
Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari,
seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara
lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa
yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi
dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal
pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak
tubuh terbatas (dapat diberi variasi).
Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan
politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater
dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi
oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng
adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang
berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh
maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar
belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada
dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang
bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan
Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran
mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan
pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat
menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang
diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga
memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang
dikuburkan.
3. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga
belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua
sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil
bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya
lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan
kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan
dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa,
syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian
dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun,
kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk
berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh
ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
TEKNOLOGI
ALAT - ALAT MUSIK
a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah
lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini
dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian,
penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan
dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi
sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan Rapai
merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh
Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh
disektor musik.
b. Rapai / rebana
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit
binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda.
Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian
tradisional.
c. Geundrang / gendang
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik
Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan
memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan
alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
d. Tambo / tambur
Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat
dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo
ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu
shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna
membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah)
karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari
bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang
mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan
dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
f. Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau.
Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan
Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai
alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9
tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini
Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah
penggunaannya.
Rumah Adat : Rumoh Aceh
Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk
panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe
Likot.
Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda
Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur,
tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari
susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh
menggunakan bentuk tumbuhan.
Pakaian Adat
Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan
leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang
disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong
terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana
panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai
berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian
ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Senjata
Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir
setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya
bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan,
reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya
dibuat sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar