Rabu, 11 April 2018

Kebudayaan Aceh


KEBUDAYAAN ACEH


BAHASA ACEH

Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.

• Bahasa Gayo

Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.

• Bahasa Alas

Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.

• Bahasa Tamiang

Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.

• Bahasa Aneuk Jamee

Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.

• Bahasa Kluet

Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.

• Bahasa Singkil

Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.

• Bahasa Haloban

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.

• Bahasa Simeulue

Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.


 KARYA / SENI

Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu.

Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).

Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.

Contoh kesenian :

1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab

Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.

2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan

Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.

3. Seni Musik : Rapai Geleng

Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.

4. Seni Tari : Tari Saman

Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.


TEKNOLOGI

ALAT - ALAT MUSIK

a. Serune Kalee / Seruling Aceh

Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.

Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan Rapai merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

b. Rapai / rebana

Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.

c. Geundrang / gendang

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

d. Tambo / tambur

Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

e. Taktok Trieng

Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).

f. Bereguh

Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9

tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.


Rumah Adat : Rumoh Aceh

Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot.


Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda

Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.

Pakaian Adat

Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.

Senjata


Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kebudayaan Aceh

KEBUDAYAAN ACEH BAHASA ACEH Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah ter...