KEBUDAYAAN KALIMANTAN TENGAH
Pada abad
ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa
(Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting
dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong,
Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju
Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala
daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin
pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.
Selanjutnya
Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus
Negara Dipa. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang
beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari
Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar,
bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang
Lawai bernama Panglima Sorang (Nanang Sarang) membantu Raja Maruhum menumpas
pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok, demikian juga di masa Pangeran Suryanata
II (Sultan Agung). Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di
negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu
Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang
pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah
suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri
Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan
memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.Pangeran Amas yang
bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya
berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma
Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun
1637.Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat
pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai,
Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang
dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.
Berdasarkan
traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin menyerahkan
daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat
dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan
Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin
Utara, Martapura sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat
VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar
menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah
lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya kepala-kepala
daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.
Berdasarkan
Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini
termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van
Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik
dalam Kesultanan Banjar.
Sebelum abad
XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada
pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah
perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun
1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala
suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di
Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai
berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan
Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah
tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain
tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara
mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau
Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak
bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang
didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin
Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa
Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun
1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat
daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar
tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan
Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan
mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda
malahan merintangi upaya-upaya misionaris Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah
Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah
mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas
pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak
abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan
maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu
saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka
lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah
Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan
dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke
pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para
penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli
tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran
antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran
diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya
Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang ,
pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia
pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya
hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah
dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu
orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas
(Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun,
atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh.
Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang
Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik
dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung
Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah
dalam perdagangan lada.[11] Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka
beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali
kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda
salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda
salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi
benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat
ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung
dalam bahasa Banjar.
Di masa
penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah
bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya
sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan
formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat
Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips
Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak
lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926.
Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai
bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak,
yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat
aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis.
Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim,
Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan
masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya
pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di
Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J.
Uvang Uray , F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun
1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo.
Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah
Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia
dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak
lainnya.
Tahun 1942,
Kalimantan Tengah disebut Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi.
Suku Dayak
di Kalimantan Tengah antara lain:
Suku Dayak
Ot Danum
Suku Dayak
Ngaju
Suku Dayak
Bakumpai
Suku Dayak
Maanyan
Suku Dayak
Dusun
Suku Dayak
Lawangan
Suku Dayak
Siang Murung
Suku Dayak
Punan
Suku Dayak
Sampit
Suku Dayak
Kotawaringin Barat
Suku Dayak
Katingan
Suku Dayak
Bawo
Suku Dayak
Taboyan
Suku Dayak
Mangkatip
Bahasa
Menurut
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal)
terdapat pada 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi 9 bahasa dominan dan
13 bahasa minoritas, yaitu:
Bahasa
dominan :
Bahasa
Melayu
Bahasa
Banjar
Bahasa Ngaju
Bahasa
Manyan
Bahasa Ot
Danum
Bahasa
Katingan
Bahasa
Bakumpai
Bahasa
Tamuan
Bahasa
Sampit
Bahasa
kelompok minoritas :
Bahasa
Mentaya
Bahasa
Pembuang
Bahasa Dusun
Kalahien
Bahasa Balai
Bahasa Bulik
Bahasa
Mendawai
Bahasa Dusun
Bayan
Bahasa Dusun
Tawoyan
Bahasa Dusun
Lawangan
Bahasa Dayak
Barean
Bahasa Dayak
Bara Injey
Bahasa
Kadoreh
Bahasa
Waringin
Bahasa Kuhin
(bahasa daerah pedalaman Seruyan Hulu)
Seni dan
Budaya
Seni Musik
Seni musik
yang dikenal di daerah ini antara lain:
Chordophone
Kacapi
Rebab
Idiophone
Berbagai
jenis Gong
Kangkanung
Membranophone
Berbagai
jenis Kendang (Gandang)
Katambung
Seni Vokal
Seni vokal
yang populer di wilayah ini adalah:
Karungut
Kandan
Mansana
Kalalai
Lalai
Ngendau
Natum
Dodoi
Marung
Tarian
Jenis-jenis
tarian yang terdapat di daerah ini antara lain:
Tari Hugo
dan Huda
Tari Putri
Malawen
Tari Tuntung
Tulus dari Barito Timur
Tari
Giring-giring
Manasai
Tari Balian
Bawo
Tari Balian
Dadas
Manganjan
Seni Kriya
Seni kriya
yang berkembang di wilayah ini adalah:
Seni Pahat
patung Sapundu
Seni lukis
Tatto
Anyaman
Seni dari
bahan Getah Nyatu
Seni bela
diri
Upacara Adat
Wadian
Upacara
Tiwah (upacara memindahkan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
Wara
(upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
Balian
(upacara atau prosesi pengobatan)
Potong
Pantan (upacara peresmian atau penyambutan tamu kehormatan)
Mapalas
(upacara membuang sial atau membersihkan diri dari malapetaka)
Ijambe
(upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar